Suluk di Ujung Keyboard

Di sebuah kamar kos ukuran tiga kali empat meter, di lantai tiga sebuah gedung lama yang nyaris tak pernah disebut dalam peta digital, Rafi duduk menatap laptop yang layarnya mulai menguning. Lampu meja menyala redup. Dinding penuh tempelan kutipan dan catatan kecil. Di samping laptopnya, ada sebuah mushaf tua dan buku tipis berjudul Suluk al - Qalb: Jalan Sunyi Menuju Kekasih, kitab kecil itulah yang menjadi titik balik hidupnya.
Dulu, hidup Rafi tak lebih dari angka - angka: jumlah followers, jumlah viewers, engagement rate. Ia seorang content creator, dulunya terkenal di TikTok dan Instagram karena video - videonya tentang gaya hidup minimalis, coffee shop review, dan tips produktivitas. Namun, di balik layar yang cerah itu, ada gelap yang terus membayangi: kehampaan.
Rafi bisa tersenyum di depan kamera, tapi hampa saat menutup ponsel. Bisa meraih ratusan ribu views, tapi tak tahu lagi kepada siapa ia bicara dalam sunyi.
***
Sampai pada suatu malam, hidupnya berubah.
Hujan deras menutup langit kota, dan kafe tempat biasa ia duduk menulis konten mendadak tutup karena listrik padam. Ia berjalan kaki, tanpa arah, hingga kakinya menuntunnya ke sebuah gang sempit di pinggiran kampung kota. Di ujung gang, berdiri Surau tua yang tampak usang namun terang oleh cahaya lampu temaram.
Ia masuk, setengah basah, setengah ragu. Di dalamnya hanya ada satu lelaki tua berjubah putih, wajahnya teduh dan matanya seperti telah menembus banyak gelombang waktu.
Tanpa banyak bicara, lelaki itu memberikan buku tipis yang sudah hampir usang. "Baca ini, Nak," katanya. "Jalan sunyi tidak bisa dijelaskan, tapi bisa dirasakan."
Rafi tak sempat bertanya siapa dia. Lelaki itu menghilang dalam malam seperti angin yang tahu kapan ia harus pergi.
Sejak malam itu, Rafi membaca. Tak sekadar membaca, ia meraba. Ia menelusuri karya para sufi: Al Imam Al - Ghazali dengan Ihya’ Ulumiddin, Al Imam Ibn ‘Athaillah dengan Al Hikamnya, Al Imam Jalaluddin Ar Rumi dengan bait - bait cinta ilahinya, serta KH Ahmad Asrori yang lembut namun tajam dalam syi’ir - syi’ir batinnya.
Setiap malam, Rafi merenungi satu kutipan. Ia menangis diam - diam. Ia merasa sedang belajar hidup dari awal, bukan dari layar ponsel, tapi dari ruang hening dalam dirinya.
“Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.” (Hadis mauquf yang dikutip dalam banyak kitab tasawuf)
***
Ia ingin menulis, tapi tak tahu bagaimana. Sampai suatu malam, ia membuka kembali laptop lamanya, dan mengetik satu kalimat:
"Apakah kau pernah merindukan sesuatu yang tak bisa kau sebutkan, tapi selalu terasa dekat di dadamu? Mungkin itu panggilan pulang."
Ia unggah tulisan itu di blog yang ia beri nama "Al-Faqir fi Zaman Digital", sebuah nama pena, tanpa identitas, tanpa foto. Ia hanya ingin berbagi. Tidak untuk viral. Tapi untuk jiwanya sendiri. Jika ada yang membaca, itu bonus. Jika tidak, ia tetap merasa telah berdzikir dengan caranya sendiri.
Malam-malam pun berlalu. Satu demi satu tulisan ia unggah. Ia menulis tentang ikhlas dalam ketenaran, sabar dalam kebisingan, dan tentang fana’, lenyapnya ego dalam samudera Ilahi dan dunia yang terus menekankan branding diri.
***
Suatu hari, tanpa ia duga, salah satu tulisannya viral. Judulnya: "Allah Masih Di Sini, Meski Hatimu Sibuk". Tulisan itu bukan ceramah, bukan motivasi. Hanya sebuah curhat ruhani, sebuah surat batin dari seseorang yang sedang belajar pulang.
Komentar masuk ratusan. Bukan pujian, tapi kesaksian: ada yang merasa tertegur, ada yang mengaku menangis di kamar karena merasa jauh dari Allah, ada yang mengatakan tulisan itu membuatnya kembali shalat setelah bertahun - tahun lalai.
Namun, yang paling membuat Rafi menggigil adalah satu email dari pembaca:
“Saya membaca tulisan Anda sambil menjaga ibu saya yang koma. Tulisan Anda tentang Allah tidak pernah pergi, hanya kita yang lupa pulang, membuat saya menangis. Saya baru sadar, selama ini saya sibuk mencari pengakuan, tapi melupakan tempat saya berasal. Terima kasih.”
Rafi menangis. Lama. Ia merasa seperti seseorang yang hanya menulis untuk menyembuhkan dirinya sendiri, tapi ternyata ada ruh - ruh lain yang turut sembuh karenanya.
***
Ia mulai menulis lebih dalam. Tentang makna diam. Tentang cahaya yang tersembunyi di balik kesunyian. Tentang kisah Nabi Musa yang mencari ilmu kepada Khidir. Tentang Nabi Yusuf yang mulia meski dijual murah. Ia menafsirkan kisah para nabi dengan bahasa perenungan, bukan sekadar kisah.
Tulisan - tulisannya menyebar diam - diam. Ada yang membaca di ponsel di perjalanan kerja. Ada yang mencetaknya untuk dibaca sebelum tidur. Bahkan ada guru ngaji yang meminta izin membacakannya di pengajian ibu - ibu.
Tapi Rafi tidak pernah muncul. Ia tetap menulis tanpa wajah. Karena bagi dia, “ego adalah tirai paling tebal dalam suluk.”
***
Suatu malam, Rafi bermimpi.
Ia berada di padang pasir yang sunyi, hanya ada dirinya dan angin. Tiba - tiba, ada suara lembut berkata:
“Jangan berhenti menulis. Karena di zaman ini, tinta bisa menjadi dzikir. Dan keyboard bisa menjadi tasbih, jika niatmu benar.”
Ia terbangun dengan air mata mengalir. Hatinya penuh syukur. Ia teringat perkataan Al Imam Al - Ghazali:
“Tanda bahwa hatimu hidup adalah jika ia mudah tersentuh oleh kebenaran dan ringan menerima nasihat.”
***
Hari - hari selanjutnya, Rafi semakin tekun. Ia tak lagi menulis untuk menyenangkan pembaca. Ia menulis sebagai suluk jalan ruhani menuju-Nya. Sebab ia sadar, “suluk tak harus di gua atau dalam dzikir ribuan kali. Suluk bisa terjadi di depan layar, jika niatnya adalah menyampaikan cahaya.”
***
Kini, jika kamu mencari blog Al - Faqir, mungkin kamu akan menemukan tulisan baru berjudul:
“Langkah Pulang Tak Selalu Lewat Sajadah, Kadang Lewat Kata - Kata”
Isinya adalah catatan harian spiritual, renungan dari hadis, kisah wali, dan pengalaman ruhani yang ditulis sederhana namun menyentuh. Ia menulis tentang bagaimana cinta Ilahi bisa hadir di sela - sela hiruk pikuk, bahkan saat mengetik di malam yang sepi.
***
Dan jika kamu pernah merasa hampa meski sibuk, pernah menangis di tengah keramaian, atau merasa ingin pulang tapi tak tahu ke mana, barangkali kamu akan menemukan diri sendiri di antara paragraf - paragraf itu.
Rafi masih tak dikenal. Tapi ia sudah tak menginginkan ketenaran. Ia hanya ingin menjadi pena kecil dalam tangan Tuhan, menulis jejak - jejak makna di layar dunia, sebelum waktu menggulungnya kembali ke keabadian.
“Suluk ini tak terlihat oleh mata manusia. Tapi di hadapan Allah, semoga setiap hurufku menjadi dzikir yang bersambung.”
Komentar