Syarat dan Batasan Tafsir Sufi


Pandangan Ulama Klasik

Tafsir sufi atau yang dikenal dengan tafsir isyari ini merupakan salah satu bentuk penafsiran Al-Qur’an yang berusaha menyingkap makna-makna tersirat di balik lafaz yang zahir dengan landasan pengalaman spiritual, penyucian hati (tazkiyatun nafs), dan kedekatan ruhani dengan Allah. Tujuan tafsir ini bukan untuk menggantikan makna zahir ayat, tetapi untuk memperdalam makna tersirat yang terkandung di dalamnya.

Sejak masa klasik, para ahli tafsir menegaskan bahwa tafsir semacam ini harus diimbangi oleh ilmu syariat agar tidak menyimpang dari tujuan wahyu diturunkan. Sebab tanpa batasan ilmiah, tafsir istari berpotensi menimbulkan subjektivitas dan kesesatan makna. Imam al-Suyuthi dalam al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an menetapkan lima syarat diterimanya tafsir Sufi ini:

  1. Tidak bertentangan dengan makna lahir ayat Al-Qur’an.
  2. Tidak mengklaim makna isyari sebagai satu-satunya makna ayat.
  3. Tidak berupa takwil yang jauh dan tidak logis. 
  4. Tidak bertentangan dengan dalil syariat.
  5. memiliki penguat dalil nash.
            Salah satu contoh penafsiran yang tidak sesuai dengan makna lahiriah ayat dalam surah al-ankabut ayat 69:

وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ

Dalam penafsiran ini, kata "لَمَع" (lama'a) diartikan sebagai kata kerja lampau yang berarti "memotong", dan kata "الْمُحْسِنِيْنَ" (al-muhsinin) diartikan sebagai objek dari kata kerja sebelumya yang berarti "orang-orang yang berbuat baik". Sehingga, ayat  tersebut diartikan sebagai "Dan sesungguhnya Allah memotong orang-orang yang berbuat baik".

Penafsiran ini jelas merupakan penafsiran yang aneh dan batil, karena tidak sesuai dengan makna yang sebenarnya dari ayat tersebut yang berarti "Dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat baik”.

Ibn Atha’illah al-Sakandari menjelaskan bahwa kaum sufi tidak menolak makna lahir, tetapi menggali pemahaman dari sisi spritualistik. Menurutnya, setiap ayat memiliki dua dimensi makna: lahir dan batin. Oleh karena itu, orang yang hatinya dibuka oleh Allah akan mampu menangkap makna batin atau isyari suatu ayat, namun tetap menghormati makna lahir yang telah ditetapkan syariat.

Ibn al-Shalah dan al-Wahidi juga mengingatkan agar tafsir isyari tidak dianggap sebagai tafsir yang sebenarnya terhadap teks Al-Qur’an. Jika tafsir sufistik dijadikan tafsir literal, maka termasuk penyimpangan. Namun jika dipahami sebagai bentuk isyarat maknawi atau dzauq (rasa spiritual) yang tidak menyalahi syariat, maka diperbolehkan.

Al-Zarkasyi menambahkan bahwa ucapan para sufi dalam menafsirkan Al-Qur’an bukanlah tafsir secara bahasa, melainkan ungkapan pengalaman rohani (mawajid) yang lahir dari interaksi batin antara seorang salik dengan kalam Allah.

Pandangan Ulama Kontemporer

Pada era kontemporer, para ahli taafsir masih melihat tafsir sufistik sebagai salah satu corak penafsiran yang bernilai tinggi dengan catatan berada dalam koridor ilmiah dan spiritual yang sehat.  Al-Zarqani dan Fahd al-Rumi memberikan penegasan bahwa tafsir isyari diterima bila:

  1. Tidak bertentangan dengan makna lahir.
  2. Memiliki dasar syariat.
  3. Tidak menolak hukum syariat.
  4. Mendahulukan penjelasan makna lahir sebelum menyingkap makna batin.

Makna isyari disini dianggap sebagai tambahan rahmat yang Allah berikan kepada hamba-hamba pilihanNya, namun bukan sebagai makna utama ayat.

Ibn 'Ajibah dan Ahmad Asrori al-Ishaqi juga memberikan penjelasan tentang bagaimana melakukan tafsir isyari yang benar. keduanya menegaskan bahwa tafsir batin hanya dapat dirasakan oleh ahlinya yang telah mencapai tingkat dzauq (pengalaman ruhani). Mereka berpendapat bahwa makna isyari yang sah adalah yang tetap berpijak pada makna lahiriah, tidak menyalahi dalil syariat, dan menambah kekayaan spiritual bagi pembacanya.

Jadi, orang yang ingin menyelami tafsir ini harus berhati-hati dalam melakukan tafsir isyari yang dapat berakibat salah paham dan menyesatkan, serta memiliki dasar yang kuat dalam agama dan pengalaman spiritual sebelum mencoba memahami makna isyari Al-Qur'an.

Muhammad Kamal Ja‘far juga memberikan syarat yang dapat menekankan bahwa tafsir sufi haruslah berdasarkan pada prinsip-prinsip yang jelas dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Syarat-syarat tersebut juga bertujuan untuk mencegah penyimpangan makna dan menjaga agar tafsir sufi tidak menjadi alat untuk mempromosikan kepentingan politik atau duniawi:

  1. Tidak memiliki motif politik atau kepentingan duniawi.
  2. Tidak bertentangan dengan ayat Al-Qur’an lain.
  3. Sesuai dengan kaidah bahasa Arab.
  4. Tidak menimbulkan penyimpangan makna.
  5. Memberi nilai spiritual dan memperdalam iman.
  6. Tidak mengklaim tafsirnya sebagai kebenaran mutlak.

Jika semua syarat ini terpenuhi, tafsir sufi dianggap sah sebagai jalan memperkaya pemahaman ruhani terhadap Al-Qur’an.





Penulis: Fauzan Amir Ashab




Komentar

Archive

Formulir Kontak

Kirim