Seminar Inspiratif Festival Ilmiah Al-Qur'an 2025 UIN Maulana Malik Ibrahim Malang


Pemateri kedua, Dr. Nur Mahmudah. M.A. Dalam Kajian yang mengangkat tema tentang “Hirarki Dalam Pesantren: Tafsir Ayat-Ayat Kepemimpinan Dalam Konteks Feodalisme Kultural”, membahas bagaimana pentingnya pesantren dalam pendidikan di Indonesia yang dimana Pesantren tidak hanya berfokus pada pendidikan formal dan keagamaan, tetapi juga pusat pemberdayaan ekonomi umat. Salah satu bentuk nyata adalah kerja sama Pesantren dengan para tetangga untuk penyediaan kebutuhan makan para santri. Melalui kegiatan ini, warga sekitar dilibatkan dalam kegiatan ekonomi seperti memasak, menyediakan bahan pangan. Dengan demikian, menunjukkan bahwa Pesantren tidak hanya berperan dalam pendidikan dan keagamaan saja.

Dan pemateri juga membahas tentang kepemimpinan Pesantren juga melibatkan beberapa unsur seperti, Kiai, Ustadz/Ustadzah, dan Pengurus, menunjukkan bahwa otoritas keilmuwan dalam Islam tidak hanya bersifat personal melainkan melibatkan beberapa unsur, serta harus berpijak pada al-Qur’an dan Hadis. Kepemimpinan Pesantren bukan hanya sebagai amanah saja tetapi juga mengandung moral dan spiritual, maka penting bagi seseorang pemimpin untuk memiliki dasar keilmuwan yang kuat. Dalam konteks inilah terdapat pada Qs. Az-Zumar : 9,

   قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَۗ اِنَّمَا يَتَذَكَّرُ اُولُوا الْاَلْبَابِࣖ ۝٩....

"Katakanlah (Nabi Muhammad), “Apakah sama orang-orang yang mengetahui (hak-hak Allah) dengan orang-orang yang tidak mengetahui (hak-hak Allah)?” Sesungguhnya hanya ululalbab (orang yang berakal sehat) yang dapat menerima pelajaran.” (Qs. Az-Zumar: 9)

Ayat diatas menegaskan bahwa orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu itu berbeda. Seorang pemimpin tanpa ilmu akan mudah terjebak pada kesalahan dan ketidakadilan, sedangkan pemimpin yang berilmu akan menuntun dengan hikmah serta menjadikan nilai-nilai keislaman sebagai pedoman dalam setiap kebijakan.

Makna keilmuan dalam QS. Az-Zumar ayat 9 bukan hanya menekankan tingginya derajat orang berilmu, tetapi juga menggambarkan karakter sejati dari ilmu itu sendiri yaitu melahirkan kerendahan hati dan kesiapan menerima kebenaran. Seorang yang benar-benar berilmu tidak menjadikan pengetahuannya sebagai alat untuk meninggikan diri, melainkan sebagai sarana untuk mendekat kepada Allah dan memperbaiki dirinya. Dan pemateri menegaskan pembahasan berikut pada sosok Ali bin Abi Thalib r.a., seorang sahabat Nabi yang dikenal karena keluasan ilmu dan kebijaksanaannya. Dalam satu kesempatan, beliau menunjukkan keteladanan luar biasa dalam kejujuran ilmiah dengan mengucapkan, beliau berkata:   أنا خطأت وفلان أصاب  “Aku salah, dan dia yang benar”.

Dapat diketahui dari Perkataan Ali bin Abi Thalib tersebut mencerminkan kerendahan hati dan kejujuran seorang pemimpin berilmu. Meski berstatus sebagai khalifah dan ulama besar, beliau tetap mengakui kesalahan ketika kebenaran datang dari orang lain. Sikap ini menegaskan bahwa otoritas ilmu dalam Islam tunduk pada kebenaran, bukan pada ego. Dalam konteks kepemimpinan pesantren, teladan ini menjadi pengingat bahwa ilmu sejati harus melahirkan keikhlasan, kejujuran, dan tanggung jawab moral, bukan kesombongan. Dari sikap inilah tumbuh kepemimpinan yang adil, rendah hati, dan berorientasi pada kemaslahatan umat.

Pemateri juga menerangkan Setelah memahami bahwa kepemimpinan dalam islam berlandaskan pada nilai-nilai keadilan, amanah, dan tanggung jawab membangun kebaikan bukan hanya berada di pundak seorang pemimpin tetapi juga menjadi kewajiban setiap individu dalam masyarakat. Prinsip ini menunjukkan bahwa setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki peran aktif dalam menjaga tatanan sosial dan moral umat Islam. Hal tersebut ditegaskan oleh Allah SWT dalam Qs. At-Taubah:71,

وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗۗ اُولٰۤىِٕكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّٰهُۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ 

Orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) makruf dan mencegah (berbuat) mungkar, menegakkan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Qs. At-Taubah: 71)

Ayat diatas menegaskan bahwa kekuatan umat tidak hanya terletak pada kepemimpinan yang adil saja tetapi juga pada kerja sama dan kepedulian antar individu dalam menjalankan amar ma’ruf nahi munkar. Setiap mukmin memiliki tanggung jawab moral untuk saling menasihati dalam kebaikan, menegakkan keadilan, dan menjaga nilai-nilai keislaman di tengah masyarakat. Dengan demikian, menunjukkan bahwa kepemimpinan dalam Islam berakar pada iman dan nilai moral, bukan pada kekuasaan atau jabatan semata.

Pemateri juga menambahkan pada tafsiran Al-Qusyairi bahwa ayat ini juga menunjukkan  tanggung jawab keagamaan tidak terbatas oleh jenis kelamin, melainkan oleh iman dan ketaatan kepada Allah. Laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki peran aktif dalam menjaga kebaikan, menegakkan kebenaran, dan membangun masyarakat yang berahlak.


Penulis: Safira, Dira Prastika Dewi & Safarna Fillah

Editor: Faiksan

Komentar

Archive

Formulir Kontak

Kirim