Langit Dzulhijjah dan Bayang-Bayang Dosa

Oleh : Sigit Dwi Riskiyanto

Langit sore itu menguning temaram. Awan berarak lambat seolah menunggu sesuatu yang tak kunjung tiba. Di balik jendela masjid tua di lereng desa Karang Luyu, Zulfan memandangi langit Dzulhijjah yang menganga lebar, memantulkan kenangan dan dosa-dosa yang telah lama ia kubur.

“Sepuluh hari pertama bulan ini lebih utama dari jihad,” ucap Faiksan suatu hari, lima tahun lalu, ketika mereka masih duduk melingkar di serambi pondok pesantren Nurul Qamar.

Zulfan menarik napas panjang. Itu sebelum segalanya berantakan. Sebelum persahabatan mereka tercerai oleh pilihan hidup dan bayang-bayang kesalahan. Seolah benar kata pepatah Arab: "Sahabat sejati adalah mereka yang tetap tinggal saat dunia berpaling."


***


Dulu mereka bersebelas. Tumbuh di bawah asuhan Kiai Tohari yang keras namun penyayang. Zulfan, Faiksan, Rijal, Kurdi, Miftah, Iyas, Sajad, Dea, Rinna, Andin, dan seorang santri pendiam bernama Iyas yang lebih banyak diam ketimbang bicara.

Setiap Dzulhijjah, mereka akan menulis catatan harapan lalu menguburnya di belakang masjid, sambil berharap bisa melihat Ka'bah suatu hari nanti.

Namun waktu punya caranya sendiri untuk menguji niat. Perjalanan hidup mereka tidak selamanya suci. Justru ketika mereka meninggalkan pondok, dosa-dosa mulai tumbuh dalam diam.

Zulfan yang dulu pemimpin halaqah kini bekerja sebagai manajer dan diam - diam menyembunyikan korupsi kecil demi menolong keluarganya. Faiksan jadi guru ngaji yang dikagumi, tapi hatinya dirongrong cinta diam - diam pada Dea. Rijal terjebak dalam dunia gelap investasi bodong. Kurdi dan Miftah sibuk dengan politik dan kompromi. Sajad dan Iyas ke Timur Tengah, namun Iyas kemudian hilang dalam konflik. Rinna dan Andin menjadi relawan kemanusiaan.

Dan Dea, dia satu - satunya yang tetap datang setiap Dzulhijjah ke masjid tua ini. Untuk berdoa. Untuk menunggu.

"Menunggu apa?" tanya Zulfan suatu malam.

"Menunggu kita kembali. Menunggu langit Dzulhijjah yang dulu."


***


Tahun ini, semuanya berubah. Zulfan menerima pesan dari Rijal: "Aku ingin menebus semuanya. Mari kembali ke masjid itu di awal Dzulhijjah."

Lambat laun, satu per-satu mereka menyatakan setuju. Bahkan Faiksan yang sempat menjauh karena luka lama.

Mereka berkumpul kembali. Di bawah langit Dzulhijjah, Zulfan menatap wajah - wajah itu satu per-satu. Rijal lebih kurus. Kurdi dan Miftah membawa semangat lama. Andin duduk diam. Rinna membaca doa. Faiksan datang terakhir, dengan wajah tenang namun sorot mata penuh kenangan.

“Kita semua pernah salah,” kata Rijal membuka.

“Tapi kita masih punya sepuluh hari ini,” lanjut Miftah. “Langit Dzulhijjah tidak pernah menutup pintunya.”

"Karena Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tapi melihat hati dan amal kalian," tambah Andin, mengutip hadis Rasulullah ﷺ.


***


Malam pertama, mereka bermuhasabah.

“Aku mau jujur,” kata Faiksan. “Aku pernah iri padamu, Zulfan. Kau lebih pintar, lebih disayang Kiai. Aku merasa seperti bayanganmu. Dan aku mencintai Dea... diam - diam. Tapi kini aku sadar, cinta yang tidak disandarkan pada Allah hanya akan menjadi ujian.”

Zulfan menunduk. “Aku juga menyembunyikan sesuatu… Aku korupsi. Untuk membantu ayahku. Tapi tetap saja salah.”

Miftah berkata, “Mengakui dosa di hadapan Allah adalah awal dari taubat sejati. ”La taqnathu min rahmatillah”, jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah.”

Mereka semua pun ikut membuka aib masing - masing. Rijal menangis saat bercerita. Rinna memeluk Dea. Sajad menggenggam tangan Zulfan. Sunyi masjid itu dipenuhi air mata.

Andin berkata, “Kadang kita harus jatuh dalam lumpur untuk sadar bahwa kita butuh air suci.”


***


Malam ketujuh, mereka menggali kembali harapan yang pernah dikubur.

“Aku menulis ingin melihat Ka'bah,” kata Kurdi.

“Aku menulis ingin wafat dalam keadaan suci,” ujar Rijal.

Zulfan membaca harapannya sendiri: “Ya Allah, jadikan aku pemimpin yang Engkau ridhai.”

“Astaghfirullah… betapa jauhnya aku menyimpang.”

Langit malam itu mendung. Tapi cahaya muncul dari celah. “Langit Dzulhijjah sedang menatap kita,” ucap Miftah.

Malam itu mereka berdoa seakan tak ada hari esok. “Ya Allah, terimalah taubat kami, karena Engkau Maha Penerima taubat.” Doa - doa mereka melesat, menembus langit yang kembali bersih.


***


Hari kesepuluh, Idul adha.

Kiai Tohari memimpin salat. Setelah itu mereka berpelukan, saling memaafkan. Sajad membawa kabar: Iyas wafat sebagai syahid di Gaza, menyelamatkan anak kecil.

“Iyas berkata, ‘Sampaikan pada sahabat - sahabatku, aku telah pulang dengan ringan.’”

Zulfan memejamkan mata. "Ya Allah, matikan kami dalam husnul khatimah, dan bangkitkan kami dalam ampunan-Mu."

Langit hari itu biru bersih.

“Langit Dzulhijjah benar - benar menerima kita ya?” bisik Faiksan.

Zulfan menjawab, “Langit tak pernah menutup pintunya. Kita saja yang terlalu sibuk dengan bayangan dosa.”


***


Tiga tahun berlalu. Masjid itu kini ramai. Zulfan menjadi pengajar. Rijal membuka pesantren. Faiksan dan Dea menikah. Kurdi dan Miftah mendirikan yayasan pendidikan. Andin dan Rinna membangun rumah singgah.

Setiap Dzulhijjah, mereka kembali ke masjid itu. Menatap langit. Mengenang dosa. Mengingat harapan.

"Karena pada sepuluh hari ini, Allah membuka langit selebar - lebarnya untuk hamba yang ingin kembali. Maka kembalilah, sebelum langit itu menjadi saksi atas kelalaian kita."



Komentar

Archive

Formulir Kontak

Kirim