Aroma Tinta di Bawah Langit Baja

Oleh: Muhammad Fayruz Zamzamy

foto peta fotografi langit senja sintesis siluet ayah dan anak, Senja, Matahari Terbenam, Langit Gambar latar

Distrik Burung Hias, 11 Agustus 2275.


“MAA... TABLET HOLOGRAMKU KOK NGGAK ADA YAA?” Jeritku nyaring dari dalam kamar.

“KAMU TERAKHIR INGAT NYIMPANNYA DI MANA?? DICARI YANG TELITI!!” Sahut Mama tak kalah nyaringnya. “BURUAN TURUN, TERUS SARAPAN MAS, INI UDAH JAM BERAPA? NANTI ROBOT SATPAM NGGAK NGIZININ KAMU MASUK GIMANA!!”

“IYA MA, IYA... UDAH KETEMU INI.” Setelah memindahkan beberapa barang yang berserakan di meja belajar, papan tipis dengan lampu berkedip itu ketemu juga. “Ah, pagi-pagi udah bikin panik aja,” gumamku. Aku masukkan barang itu ke kantong sekolah, melirik sebentar ke layar bening di samping meja untuk merapikan rambut, lalu turun ke dapur.

Sesampainya di dapur, Mama hanya melirik sebentar sebelum kembali sibuk dengan oven-oven bundar yang memenuhi sisi ruangan. Dapur rumah kami adalah ruangan terbesar ketiga setelah ruang tamu dan kamar tidur. Memang sengaja dibuat luas karena Mama adalah pengusaha homemade cake terlaris se-Distrik Burung Hias.

Aku langsung duduk dan melahap sarapan. Hari ini aku kesiangan lagi. Semalam, tugas guru astronomi baru selesai aku kerjakan tepat pukul dua. Coba bayangkan, remaja tujuh belas tahun diberi tugas mengamati seratus jenis bintang tanpa boleh pakai database NASA. Entahlah aku kadang heran, kenapa guru zaman sekarang hobi banget bikin tugas yang mustahil.

“Nanti jangan naik skytrain, pakai motor terbang di basement aja biar cepat sampai sekolah,” kata Mama setelah melihat piringku sudah kosong. “Yes, akhirnya” seruku pelan dalam hati.

Fakta menarik, keluargaku jarang sekali mengandalkan robot untuk pekerjaan sehari-hari. Kata Mama, terlalu bergantung pada mesin membuat tubuh jadi lemah dan gampang sakit. Dan sejujurnya, aku setuju-setuju aja, walaupun kadang pingin juga punya robot buat nyapu kamar. Kan enak, kita ngga perlu berperang batin dulu buat ngelawan rasa malas bersihin kamar. Tapi yasudahlah, mama selalu punya ribuan alasan buat mempertahankan gaya hidup yang sedikit tradisional ini.

“Oke, Ma. Assalamualaikum.” Aku mencium tangan Mama, lalu menuju basement.

***

Begitu pintu baja basement terbuka, udara dingin bercampur bau logam langsung menyambut. Lampu neon biru menyala mengikuti langkahku. Motor terbang hitam mengilap sudah melayang setinggi lutut, siap kugunakan. Sebelum jariku mengusap layar powernya, sorot mataku tiba-tiba terpanggil pada sebuah lemari besi tua di pojok. Warnanya kusam, engselnya berkarat, dan di pintunya ada label pudar:  “HBA. 2025”. Aku melangkah mendekat karena penasaran. Sebelumnya di bagian sana tidak pernah ada lemari seingatku. Tapi ketika aku tinggal beberapa langkah lagi sampai, —

“MAS! BURUAN! MAU JAM SETENGAH DELAPAN LOH!” teriak Mama menggema dari atas.

Aku refleks balik badan, melompat ke motor terbangku yang sudah berdenging dari tadi, dan melesat keluar. Di sepanjang jalan ke sekolah, pikiran tentang lemari itu tidak mau pergi. Bagaimana tiba-tiba ada lemari besi tua di basement. Siapa yang memindahkannya. Atau itu oleh-oleh ayah untukku setelah mengarungi distrik-distrik lain dengan armadanya. “Entahlah, sesuai sekolah lemari itu harus aku bongkar” batinku.

....

Jam menunjukkan pukul 07.28, dua menit sebelum benar-benar terlambat. Sekolah sudah penuh murid saat aku tiba. Gedung sekolahku seperti menara kaca, tinggi menjulang dengan drone keamanan berkeliling. Sesampainya aku di pintu masuk, mesin scan langsung memindai retina dan kartu identitas holografisku. Mencatat waktu kedatangan siswa apakah terlambat atau tidak. Setibanya, di kelas, Pak Sam—guru astronomi, muncul dalam bentuk hologram tiga dimensi melalui proyektor.

“Mohon maaf, bapak pagi ini tidak bisa hadir. Bapak ada undangan mendadak di gedung pertemuan guru astronomi seantero distrik. Jadi Anak-anak, hari ini tugas kalian adalah membuat esai dengan tema “Dunia Astronomi di Era Digital”. Yang sudah selesai silakan kirim filenya ke akun bapak. Dan untuk tugas pengamatan kemarin, terakhir dikumpulkan hari ini. Terima kasih” Seperti biasa, hadirnya beliau membawa tugas, ketika izin juga memberi tugas. Hadeuh.

Sedetik setelah pesan hologram itu hilang, suara mesin mengetik virtual segera terdengar. Teman-temanku langsung menghubungkan implan otak mereka ke database AI untuk mencari ide. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang asal copast artikel di internet tanpa memodifikasi gaya bahasanya. Aku menatap kosong ke tablet hologram ku. Semua terasa instan, tanpa proses, setelah dikerjakan, ilmu itu seperti menguap begitu saja, tugasnya memang selesai tapi rasanya hampa.

Kadang aku bertanya-tanya, “Apa gunanya aku berangkat ke sekolah jika tugas yang diberikan bisa diselesaikan seperti ini maksudnya dengan instan dan tanpa berpikir? Emang orang-orang dulu kalau belajar kayak gini ya. Sekali klik langsung muncul apa yang dicari?” Pertanyaan itu terus terngiang dalam benakku.

....

Sepulang sekolah, aku sudah tidak tahan lagi. Bayangan lemari tua itu menghantui pikiranku sepanjang hari di sekolah. Setelah motor terbangku terparkir gagah di basement, aku langsung mendekati lemari itu. Aku perhatikan kembali balok besi berukuran dua kali satu meter itu. Lemari ini benar-benar unik. Tidak ada tombol atau panel deteksi biometrik seperti lemari pada umumnya. Hanya ada tuas besi menempel kokoh di bagian depan. Setelah kuperiksa, ternyata tuas penguncinya gampang dibuka. Bunyi klik terdengar, pintunya berderit.

Di dalamnya ada kotak berukiran bunga tersimpan rapi. Kuraih kotak itu, lalu kucoba membukanya perlahan. Saat kotak terbuka, ternyata isinya beberapa tumpukan kertas kecokelatan yang diikat pita kain lusuh. Di atasnya ada pena analog kuno, dua benda yang cuma pernah kulihat di museum virtual. “Ah kenapa benda antik ini bisa ada di sini? Ini milik siapa?” heranku dalam hati.

Kubuka simpul pita pengikatnya, kubaca kertas pertama yang bertuliskan rapi tapi agak samar seperti terhapus. Di bagian paling atas, ada tulisan: “Menulis adalah cara manusia melawan lupa. – Hasan Bin Ali” sontak mataku terbelalak. Ini...nama kakek buyut. Aku pernah mendengar nama beliau dari mama. Mataku berbinar-binar mengamati kertas kecokelatan itu. Aku tidak pernah menyangka ternyata rumah ini punya barang kuno sebanyak ini, bahkan lebih banyak dari milik perpustakaan sekolah. Dan yang paling menakjubkan kakek buyutkulah sang penulisnya.

Lembar demi lembar kubaca dengan seksama. Meski banyak kosakata yang sangat asing ketika aku baca, entah kenapa aku paham dengan apa yang kakek maksud dalam tulisannya. Seakan-akan aku terseret ke dalam dimensi dan waktu yang kakek tuliskan.

Tulisan-tulisan kakek beragam. Ada yang berupa lembaran terpisah, ada juga yang sudah terjilid rapi—mungkin di masa itu, istilahnya buku. Ada tulisan yang menceritakan kisah masa mudanya, ada yang membahas diskursus rumit pada eranya, dan yang paling menarik perhatianku adalah buku beliau dengan judul; “Jika Kamu Masih Manusia Maka Menulislah” judul yang paradoks jika melihat aktivitas menulis sudah punah di era ini.

Kutepuk pelan sampulnya yang berdebu dan kubuka tiap halamannya dengan khidmat. Kurang lebih, buku ini menjelaskan keresahan kakek melihat orang-orang di zamannya yang sudah mulai kecanduan teknologi. Banyak orang yang mulai malas berpikir, semua hal selalu diselesaikan dengan mesin. Aku jadi teringat file sejarah yang mengatakan bahwa awal tranformasi manusia tradisional menuju manusia modern adalah di era kakek hidup, awal abad 21. Aku jadi tahu kalau masa awal munculnya teknologi juga bisa membawa keresahan.

Halaman demi halaman kulewati, isinya campuran antara catatan harian, potongan puisi, dan renungan yang kadang sulit kupahami. Hingga sampailah aku pada halaman terakhir. Tulisan tangan itu sedikit bergetar, tintanya mulai pudar, tapi setiap lekuk huruf terasa seperti napas yang tertinggal di atas kertas. Aku membacanya pelan.

“Dunia akan terus berlari lebih cepat daripada yang bisa kau kejar. Mesin akan menulis untukmu, tapi ingat, kata-kata yang lahir dari hatimu tidak pernah bisa diciptakan mesin. Saat kau menulis, kau sedang mengikat waktu—membekukan satu detik hidupmu agar lebih bermakna dan bisa dikenang. Menulis bukan hanya tentang menyampaikan pikiran, tapi tentang menemukan siapa dirimu di antara ribuan suara yang berteriak di dunia. Jangan biarkan teknologi menghapus  jiwamu.”

Aku terdiam. Rasanya, kakek Hasan seperti sedang duduk di hadapanku, menatap dalam, seolah memastikan aku mengerti setiap kata. Di luar, kota berdenyut dengan cahaya neon dan suara mesin, tapi di sini… di ruang sunyi ini… aku merasa waktu berhenti.

Tanganku menutup buku itu perlahan, seolah takut merusak jalinan kenangan yang sudah kakek titipkan di antara halamannya. Jantungku berdebar, karena ada sesuatu di dadaku yang terasa… berat. Kutarik napas panjang. Di luar, drone pos otomatis melintas, mengirimkan paket ke gedung sebelah. Dari jalan, suara motor melayang terdengar, melintas cepat meninggalkan jejak cahaya tipis di udara. Dunia ini sudah benar-benar berbeda dari cerita-cerita kakek yang beliau tulis. Tapi entah kenapa, sekarang aku merasa justru di sanalah letak masalahnya. Dan aku mulai menemukan jawaban dari pertanyaanku. Tentang rasa yang hilang dari jiwa manusia.

Aku meraih tablet hologramku. Satu sentuhan, layar transparan muncul, penuh dengan aplikasi penulis otomatis. AI siap menebak apa yang ingin kutulis, menyusunnya, bahkan mengatur diksi agar lebih “pas” untuk pembaca. Aku menatapnya lama… lalu menutupnya. Kakek benar. Kata-kata yang lahir dari hati, yang tergores dengan rasa takut salah dan ragu, tapi tetap jujur… itu tidak bisa dibuat mesin. Aku memutuskan untuk melanjutkan tulisan di buku itu. Di halaman kosong terakhir, kugoreskan:

“Kakek Hasan, aku akan berusaha terus menulis. Bukan untuk dibaca ribuan orang, tapi agar aku tidak lupa menjadi manusia. Supaya kenangan dan rasa itu tetap ada”

Aku tutup kembali buku itu lalu menyimpannya. Aku menatap langit kota melalui layar CCTV di basement yang dipenuhi lalu lintas udara. Entah akan jadi apa dunia ini nanti, tapi kata-kata kakek akan tetap hidup, setidaknya di hatiku. Dan mungkin… suatu hari nanti, akan ada orang lain yang membaca tulisan tanganku, lalu merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan sekarang. Berusaha tetap menjadi “manusia” dengan menjaga aroma tinta di bawah langit baja.

 

Komentar

Archive

Formulir Kontak

Kirim