Feodalisme atau Spiritualisme?
Dalam beberapa waktu terakhir muncul sebuah anomali yang ganjal bagi
kami, yakni “Feodalisme pesantren”. Yang menuduh bahwa institusi keagamaan
seperti pesantren adalah perwujudan feodalisme yang yang didasarkan pada
fenomena pengabdian santri kepada kiyai tanpa adanya imbalan. Apakah benar hal
tersebut tergolong doktrin sempalan? Ataukah hanya sebuah budaya pesantren yang
tak berdalil?
Hormat Santri Pada Kiyai
Imam Asy-Syarmasyi Al Maliki dalam kitab nya (Nadhmud Durar)
menyebutkan: “Orang yang memuliakan ulama sejatinya ia memuliakan Allah,
sedangkan orang yang menghina ulama sejatinya ia menghina Allah dan rasulnya.
Mengapa demikian? Sebab para ulama adalah syiar agama Allah di bumi dan pewaris
ilmunya para nabi (Waratsatul Anbiya’). Yang wajib kita hormati.
Sebagaimana dalam Q.S. Al-Hajj ayat 32:
ذٰلِكَ وَمَنْ يُّعَظِّمْ شَعَاۤىِٕرَ اللّٰهِ
فَاِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوْبِ
Apalagi ulama tersebut merupakan guru spiritual kita,
Sayyidina Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah berkata: “Barang siapa
yang mengajariku satu huruf saja, maka aku akan menjadi budaknya”. Ungkapan ini
mencerminkan penghirmatan dan keteladanan sahabat Nabi yang mendalam terhadap
guru dan ilmu pengetahuannya. Dalam konteks pesantren, pengabdian adalah bagian
dari proses pembelajaran dan spiritualitas, bukan eksploitasi.
Bedakan Feodalisme yang Terjadi di Luar
Ketaatan
dan penghormatan santri tidak bisa dianggap penjilat yang tidak ada unsur
keterpaksaan didalamnya. Andai saja ada hal demikian, seorang santri yang taat
dan hormat hanya untuk mendapakan simpati dan posisi di hadapan gurunya, apakah
tergolong Hubbul Jahh atau seperti sosial hierarki yang terjadi diluar
sana? Tetap saja tidak, hal tersebut terbantahkan dengan argument Imam
Al-Ghazali RA dalam Ihya’ Ulumuddin: “Murid yang ingin mendapatkan hati
seorang gurunya agar ia memperhatikannya dan mengajarinya dengan baik tidaklah
tercela”. Dan seorang guru juga tau bahwa gila hormat dan berlaku sewenang
wenang itu merupakan prilaku yang tecela.
Oleh karena itu jika
kita tarik benang merahnya, akhlak seorang santri dan kiyai itu beda, diukur
darimana kita memposisikan diri ini. Santri harus tau hak-hak yang harus ia
tunaikan terhadap gurunya, bagaimana ia menghormati dan membalas budi terhadap
apa-apa yang telah ia raih dan repotkan pada pesantren tersebut. Sebagaiman
pepatah mengatakan “Jangan sampai menjadi kacang yang lupa pada kulitnya”.
وبالحرمة ارتفعوا
وبالخدمة انتفعوا
“Dengan
Menghormati (guru) derajat terangkat, dan dengan berkhidmah ilmu bermafaat”
Penulis: Saiful Rijal
Komentar