Budaya Jamasan Pusaka: Sebuah Tawaran Paradigma Tafsir Spiritual

 

Setiap kali malam satu Muharram atau satu Suro tiba, berbagai paradigma dalam masyarakat Indonesia kembali mengemuka. Salah satu yang paling menonjol adalah tradisi jamasan, yaitu prosesi membersihkan pusaka kuno. Sebagian kalangan, termasuk kaum wasathiyah (moderat), terkadang memandang tradisi ini dengan curiga, menganggapnya sebagai ritual yang beririsan dengan hal-hal gaib dan berpotensi syirik.

Namun, kita perlu mengingat kembali hakikat dakwah Islam di Nusantara. Para wali dan ulama terdahulu tidak menghapus total budaya lokal, melainkan mengakomodasinya dengan menyelaraskan nilai-nilainya dengan syariat Islam. Ini adalah bentuk penghormatan sekaligus strategi dakwah yang bijaksana.

Maka dari itu, tulisan ini mengajak untuk tidak memandang tradisi Jamasan dengan kacamata tuduhan, melainkan dengan "kacamata tafsir". Kita dapat menafsirkan ulang jamasan sebagai sebuah simbol yang sarat makna: proses pembersihan fisik pusaka sebagai cerminan dari penyucian batin seorang manusia (Tazkiyah An-Nafs). Dengan begitu, fokusnya bergeser dari pemujaan benda menjadi sebuah momentum untuk introspeksi diri.

Landasan Iman kepada yang Gaib

Al-Qur'an membahas perkara gaib dalam banyak ayat. Salah satu yang paling fundamental adalah firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 3:

 

الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

“(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, menegakkan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.”

 

Ayat mulia ini menegaskan bahwa pilar utama keimanan adalah percaya pada yang gaib. Para mufasir, seperti Ibnu Jarir Ath-Thabari, menjelaskan bahwa beriman kepada yang gaib mencakup pembenaran mutlak atas segala hal yang dikabarkan oleh Allah dan Rasul-Nya, mulai dari hakikat sifat-sifat Allah, peristiwa di alam barzakh, hingga kepastian adanya hari kebangkitan, surga, dan neraka.

Iman ini, menurut manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah, adalah keyakinan yang utuh dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan perbuatan. Poin kuncinya adalah meyakini bahwa pengetahuan mutlak tentang hal gaib hanyalah milik Allah SWT semata. Tidak ada makhluk yang dapat menandingi-Nya dalam hal ini. Ini adalah batasan tegas yang membedakan antara iman dan kesyirikan.

Menghubungkan Simbol Jamasan dengan Ibadah

Di sinilah letak relevansi Surah Al-Baqarah ayat 3 dengan tradisi Jamasan. Perhatikan bagaimana Allah SWT menyandingkan dua perintah yang seolah terpisah namun saling mengikatيُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ  (beriman kepada yang gaib) dan وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ (menegakkan salat).

Keduanya adalah cerminan dari dimensi batin dan lahir seorang mukmin. Keimanan pada yang gaib adalah urusan batin, sementara salat adalah manifestasi lahiriah dari ketundukan itu. Keduanya harus berjalan seimbang. Sayangnya, inilah titik di mana banyak orang keliru. Ada sebagian masyarakat yang begitu khusyuk menjalankan ritual Jamasan Pusaka—yang bisa kita anggap sebagai bagian dari "mempercayai" sisi gaib dari warisan leluhur—namun ironisnya, mereka justru melupakan esensi ibadah yang jauh lebih utama. Mereka lupa bahwa bulan Muharram adalah momen emas untuk memperbanyak Amaliyah Ubudiyah:

  • Membaca doa awal dan akhir tahun.
  • Memperbanyak zikir dan istigfar.
  • Melaksanakan salat-salat sunnah seperti salat Tasbih.
  • Membaca Al-Qur'an, misalnya Surah Yasin, sebagai bentuk permohonan dan perlindungan.

Kesimpulan: Meluruskan Niat, Memperbaiki Paradigma

Pada akhirnya, iman kepada yang gaib yang diajarkan Al-Qur'an bukanlah untuk melegitimasi pemujaan benda, melainkan untuk meneguhkan keyakinan pada kekuasaan absolut Allah. Tradisi Jamasan tidak perlu dihapus, tetapi wajib ditafsirkan ulang dengan paradigma yang benar. Jadikanlah ia sebagai ibroh atau pelajaran simbolis: sebagaimana pusaka dibersihkan dari karat dan kotoran, begitu pula hati kita harus dibersihkan dari sifat-sifat tercela. Namun, pemaknaan simbolis ini akan sia-sia jika tidak diiringi dengan penguatan ibadah wajib dan sunnah.

Marilah kita menjadi orang beriman yang seimbang, yang menghargai warisan budaya dengan cara memberinya makna spiritual yang lurus, tanpa pernah melupakan bahwa kewajiban utama kita adalah menegakkan salat dan amalan-amalan hakiki lainnya. Karena iman kepada yang gaib baru sempurna jika dibuktikan dengan ketundukan nyata kepada Sang Pemilik segala kegaiban, Allah SWT.

 

Penulis: Muhammad Rico Al Kurniawan

Editor: Assajad Muhammad Ali

 

Komentar

Archive

Formulir Kontak

Kirim