SEKOLAH TAFSIR 2025: “ARAH BARU STUDI TAFSIR KONTEKSTUAL DALAM KONTRUKSI PARADIGMA MODERN”
Dalam rangka mempererat tali silaturahmi antar karib Forum Komunikasi Mahasiswa Tafsir Hadist (FKMTH) Jawa Timur, HMP
IAT Institut Al Fithrah Surabaya kembali menghadiri kegiatan “Sekolah Tafsir”
yang bertemakan “Arah Baru Studi Tafsir Konetekstual Dalam Konstruksi
Paradigma Modern.” Kegiatan tersebut dilaksanakan pada hari Jum’at dan
Sabtu, 30-31 Mei 2025, lalu ditutup dengan acara “Seminar Nasional” yang
dilaksanakan pada Minggu 1 Juni 2025 keesokannya. Sekolah Tafsir ini
diselenggarakan oleh Kampus Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin Darussalam (STIUDA) yang
terletak di desa Baratembong, Pakong, Kecamatan Modung, Kabupaten Bangkalan,
Madura.
Dalam kegiatan tersebut, HMP IAT IAF mengirimkan tujuh delegasi peserta
guna menghadiri dan mengikuti serangkaian kegiatan. Diantaranya adalah;
Muhammad Rico Al Kurniawan (semester IV), Moh. Iqballillah (semester IV),
Muhammad Fayruz Zam Zamy (semester II), Fauzan Amir Ashab (semester II),
Muhammad Nashrul Huda (semester II), Moh Syaiful Rijal (semester II), dan Ketua
Umum HMP IAT IAF, Ach. Mazani (semester VI) yang mendampingi para delegasi selama
tiga hari kegiatan. Acara tersebut tidak hanya di dominasi oleh Mahasiswa
Institut Al Fithrah sendiri, melainkan juga dihadiri oleh beberapa Mahasiswa HMP
IAT dan ILHA se-Jawa Timur seperti; Universitas Abdul Chalim (UAC) Mojokerto, Universitas
Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah (UINSATU) Tulungagung, Ma`had Aly Tebuireng
Jombang, dan masih banyak lagi.
Kegiatan-kegiatan tersebut diisi oleh empat pemateri, yang pengetahuannya
dalam bidang penafsiran tidak diragukan lagi. Beliau-beliau adalah; Sama’un, M.
Ag, Dr. Fejrian Yazdajird Iwanebel M.Th.I, Dr. Moh Yardho, M.Th.I., sebagai mentor-mentor
kegiatan “Sekolah Tafsir” dan Prof. Dr. Aksin Wijaya, SH, M. Ag, sebagai
pemateri Acara Seminar Nasional pada puncak kegiatannya. Beliau-beliau
merupakan para Ahli di bidang tafsir, sehingga sangat tepat dalam mengisi event
spektakuler tersebut.
Pada hari pertama, kegiatan di mulai pukul 09.00 WIB dengan doa
pembuka dan sambutan-sambutan dari panitia, Selanjutnya kegiatan diisi dengan “Materi
1: Tafsir Kontekstual” yang dinarasumberi oleh Sama’un, M. Ag,. Beliau
menjelaskan bahwa Penafsiran akan selalu ada di setiap zamannya karena makna Al
Qur’an itu Dinamis. “al Qur’an memiliki makna yang senantiasa relevan, jadi
tinggal manusia nya saja, apakah mau terus menggali makna yang terkandung di
dalamnya atau tidak?!” jelasnya.
Selain itu beliau juga memaparkan teori Double Movement yang
dikembangkan oleh Fazlur Rahman. Seperti namanya, teori ini dibagi menjadi dua
gerakan. Gerakan pertama, seorang mufassir atau peneliti menganalisis Al-Qur’an
dengan mempertimbangkan konteks sosial, budaya, dan historis pada saat Al-Qur’an
diturunkan. Lalu, setelah mufassir
mendapatkan pemahaman dari konteks masa lalu, gerakan kedua di terapkan. Mufasir
kembali ke situasi sekarang untuk mengaplikasikan prinsip-prinsip dan
nilai-nilai yang ditemukan dalam Al-Qur'an kemudian merelevansikannya dengan
problematika yang terjadi di zaman sekarang. Tujuan utama dari teori ini adalah
untuk memastikan bahwa Al-Qur’an tetap relevan dan dapat memberikan solusi
untuk masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat modern. Kegiatan hari
pertama diakhiri dengan FGD (Forum Grup Discussion) dan dilanjut dengan ISHOMA.
Pada hari kedua pemateri menjelaskan tentang “Tafsir Adalah
Tradisi Yang Bersifat genealogi” yang di narasumberi oleh Dr. Fejrian Yazdajird
Iwanebel S.Th.I,. Sebagai pengantar, beliau menjelaskan bahwa Penafsiran suatu
ayat dapat dipengaruhi oleh kondisi yang sedang terjadi pada masa ayat tersebut
ditafsiri. “Tafsir itu berkembang dengan melihat diskursus yang terjadi pada
masa itu. Sehingga bukalah hal yang aneh jika tiap mufassir memiliki corak Penafsirannya
sendiri-sendiri. Hal tersebut dikarenakan diskursus yang terjadi di tiap zaman
berbeda beda”-Jelasnya.
Beliau juga mengenalkan kepada audiens sosok Walid Saleh, yakni seorang
pakar kajian tafsir yang menyatakan bahwa “tafsir adalah tradisi yang bersifat
genealogi”. Maksudnya, penafsiran suatu ayat itu pasti memiliki hubungan
dialektis dengan penafsiran-penafsiran sebelum dan sesudahnya. Beliau juga
menjelaskan bahwa, Penafsiran itu tidak selamanya linier. Pasti ada corak
Penafsiran yang akan berubah disetiap zamannya. Materi kedua ini lebih banyak
menjelaskan tentang perbandingan penafsiran antara mufassir generasi sebelumnya
dengan generasi setelahnya. Seperti hari pertama, materi kedua ditutup dengan ISHOMA.
Penjelasan tentang Tafsir Maqoshidi, Pada hari ketiga ini, materi
disampaikan oleh Dr. Moh Yardho, M.Th.I. Sebagai pembukaan, beliau melontarkan
pertanyaan kepada para audiens tentang “apa ijtihad pertama yang dilakukan oleh
sahabat yang tidak bergantung pada riwayat?” selang beberapa detik kemudian, terdengar
suara-suara yang saling sahut menyahut menanggapi pertanyaan beliau. Ada yang
menjawab “ijtihad pertama adalah ketika pembukuan mushaf Al-Qur’an” ada juga
yang menjawab “ijtihad pertama adalah ketika menentukan hukum waris” dan masih
banyak lagi. Namun dari sekian tanggapan audiens, beliau mengungkapkan bahwa “ijtihad
para sahabat yang pertama kali dilakukan adalah ketika pengangkatan sahabat Abu
Bakar menjadi Khalifah pertama yang memimpin seluruh ummat muslim setelah Rasulullah
SAW.”
Dalam materi ketiga ini, beliau menjelaskan bahwa; “Terkadang sesuatu
itu dipahami dari maksudnya bukan maknanya”.
Menurut beliau, Maqashid itu terbagi menjadi dua. Yakni Maqoshid Syariah
dan Maqoshid Al-Qur’an. Maqoshid Syariah memiliki cakupan pembahasan terkait
seluruh perbincangan yang membahas tentang syariat keagamaan seperti ayat-ayat
hukum, ayat ayat perintah larangan dan sejenisnya. Sedangkan Maqoshid Al-Qur’an
memiliki cakupan pembahasan yang lebih luas. Setiap ayat-ayat Al-Qur’an yang
memiliki maksud tersirat didalamnya maka masuk dalam pembahasan ini. Beliau
juga membagi objek kajian Al-Qur’an menjadi 3 macam : Maqashid (tujuan),
Ma’ani (makna), Maudhi’at (Tema).
Sebagai penutup materi, Narasumber mengenalkan salah satu tokoh
pakar tafsir bernama Wasfi Asyur yang mana menyatakan bahwa Maqoshid Al-Qur’an
itu terbagi menjadi lima bagian. Bagian pertama:
Maqashid Ammah (ayat ayat Al Qur’an yang mengandung nilai umum atau universal),
maksudnya apabila ayat tersebut ditafsiri dan menghasilkan makna atau pemahaman,
maka hasil pemahaman tersebut bisa direlevansikan kepada berbagai konteks
persoalan. Bagian kedua: Maqashid Khash. Yakni hasil pemahaman
terhadap suatu penafsiran ditentukan berdasarkan bidang persoalannya. Seperti
bidang Akidah, Muamalah, Ibadah, waris, Nikah dan tema tema yang terdapat dalam
Al-Qur’an. Bagian ketiga: Maqashid
Surah. Yakni membahas tentang tujuan utama surat itu turun(karena apa
diturunkannya?). Bagian keempat: Maqashid Ayat. Yakni fokus pada
mengkaji makna tersirat dari suatu ayat. Dan bagian terakhir yakni; Maqashid
Huruf. Yakni menelusuri makna, irama, dan nuansa kata serta huruf dalam
konteks ayat dan surat. Beliau juga menjelaskan bahwa objek kajian tafsir Maqoshidi
ini adalah ayat-ayat am yang masih memiliki makna umum sehingga
perlu dilacak kembali bagaimana maksud dari ayat-ayat tersebut.
Materi ini juga menjadi pembelajaran terakhir dalam kegiatan
sekolah tafsir. Kegiatan hari kedua ditutup dengan FGD (Forum Grup
Discussion) dan dilanjut dengan presentasi tiap kelompok yang telah
mencatat seluruh materi-materi yang dijelaskan oleh para pemateri. Kegiatan “Sekolah
Tafsir” yang diselenggarakan oleh STIUDA ini terbilang sukses dalam
penyelenggaraannya. Dari segi pelayanan, peserta sekolah tafsir diberikan
tempat menginap yang sangat layak dan nyaman. Dari segi konsumsi pun pihak
panitia sangat teratur dalam memberikan nasi bungkus sehari 3 kali. Para
pemateri yang mengisi juga sangat mahir dalam bidangnya sehingga ilmu yang dicurahkan
kepada seluruh audiens bisa ditangkap dengan mudah. Mengingat hadirnya kegiatan
“Sekolah Tafsir” ini begitu penting dan bisa mendorong semangat para mahasiswa
dalam mempelajari tafsir Qur’an, maka harapannya, STIUDA tidak menjadi lokasi terakhir
tahun ini dalam menyelenggarakan kegiatan “Sekolah Tafsir” di daerah Jawa Timur,
melainkan setiap kampus yang menaungi prodi IAT dan ILHA bisa turut
menyelenggarakan acara demikian di beberapa waktu kedepan.
SEMINAR
NASIONAL
Narasumber :
Prof Dr. Aksin Wijaya M.Ag
Pemateri memaparkan tentang apakah kebenaran Tuhan itu ada dalam teks
atau konteks di Al-Qur’an? lantas sebenarnya apa tujuan kita membaca Al-Qur’an?
pemateri menjelaskan dengan gramatika bahasa, yakni Al-Qur’an turun dengan
bahasa Arab terbagi menjadi dua, pertama Gharibah(Penduduk bangsa Arab
dan menggunakan bahasa Atab), kedua Musta’ribah(Penduduk naturalisasi,
yang menggunakan Bahasa campuran selain Bahasa Arab asli).
Nabi Muhammad SAW adalah Musta’ribah karena masih ada garis
keturunan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, yang mempunyai jalur keturunan bani
Adnan, yang melahirkan suku ternama berkedudukan tinggi di Makkah, yakni suku
Quraisy. Maka dari itu Al-Qur’an adalah bahasa Musta`ribah banyak
istilah-istilah baru dalam kaidah bahasa Arab yang tidak dimengerti oleh orang
Arab sendiri, karena Al-Qur’an turun sebagai penyaing dari Sya’ir yang setiap
tahunnya diadakan lomba Syai’ir terbaik di Makkah timbullah tiga paradigma
Tafsir, antara lain yakni:
1.
Paradigma
Tafsir Teologis / Teosentris. Paradigma ini berfokuskan pada ketuhanan, Al-Qur’an
sendiri adalah kitab suci yang Qadim bersada di Luhul mahfudz. Bersifat
Ahistoris (tidak ada campur tangan manusia) maksudnya kebenaran Tuhan ada dalam
teks Al-Qur’an, maka seseorang penafsir harus membaca teks tersebut untuk
mengetahui dan menelaah makna terdalam dengan secara kontekstual, yang
mempunyai otoritas adalah Nabi Muhammad, Sahabat, ‘Ulama salaf. Penafsiran Al-Qur’an
memiliki dua jenis yakni Bil Ma’tsur dan Bil Ra’yi, ketika
mufassir menafsirkan dengan Bil Ma’tsur maka terdapat dua kategori, Madzmumah,
dan Mahmudah, otoritas penafsiran Madzmumah, ialah kelompok
yang beraqidah Mu’tazilah dan Syi’ah, pendekatan hasil tafsir ini
tercela. Sedangkan Mahmudah, otoritas penafsiran Madzmumah, ialah
kelompok yang beraqidah Ahlu sunnah Wal Jama’ah,
2.
Paradigma Epistemologi
yang berasumsi bahwa Al-Qur’an itu Suci dan Historis, ada keterlibatan Manusia
dalam pembuatan Al-Qur’an, yang datang karena menjawab problematika bangsa Arab,
sebagian kelompok menganggap Qadim, sebagian lain mengatakan baru ketika
turun di bumi, Kalam al-Lafdzi al-Hadis sebagai penjelas makna-makna Al
Qur’an, agar bisa memahamkan. Kelompok ini mengatakan pesan Tuhan ini murni
dalam Teks, dan bisa dijangkau oleh mufassir, dengan menggunakan pendekatan
Tafsir dan Takwil, maka Teks itu Dinamis (memiliki makna yang beragam).
Otoritas paradigma ini bisa dijangkau dengan pendekatan Hermeneutika, Statistik
Dll.
3.
Paradigma
Aksiologi yang bisa digapai oleh semua kalangan mufassir, dengan mencakup
kebenaran yang cocok dan bermakna, maka yang kita cari adalah kebenaran yang
bermakna.
Penulis :
Muhammad Rico Al Kurniawan & Muhammad Fayruz Zam Zamy
Editor: Assajad
Muhammad Ali
Komentar